Tahun 2025 menjadi momen bersejarah bagi sistem peradilan dunia. Beberapa negara mulai menguji AI di pengadilan untuk membantu hakim memproses ribuan kasus dengan efisiensi dan presisi tinggi. Namun, muncul pertanyaan besar: apakah mesin bisa benar-benar memahami keadilan dan empati manusia?
Kronologi Kejadian
Awal 2025, Estonia resmi menggunakan AI Judge 2.0, sistem kecerdasan buatan yang memutuskan perkara hukum kecil seperti sengketa konsumen dan pelanggaran lalu lintas.
Tak lama kemudian, Korea Selatan dan Uni Eropa mulai menerapkan algoritma hukum berbasis AI untuk menganalisis bukti dan memprediksi hasil sidang.
Menurut BBC, AI mampu memangkas waktu pengadilan dari 6 bulan menjadi hanya 3 minggu tanpa mengurangi akurasi keputusan hukum.
Fakta dan Data yang Terungkap
- Negara pengguna awal: Estonia, Korea Selatan, Uni Eropa, dan Kanada.
- Tingkat akurasi prediksi keputusan: 92%.
- Efisiensi waktu sidang: 85% lebih cepat dari proses manual.
- Kasus yang ditangani AI: pelanggaran ringan dan administrasi.
Baca juga: AI Terapi 2025: Kecerdasan Buatan Jadi Psikolog Digital
Menurut The Guardian, pengadilan berbasis AI dirancang dengan sistem “human override”, di mana keputusan akhir tetap bisa diverifikasi oleh hakim manusia.
Tanggapan Publik dan Pihak Terkait
Pendukung teknologi menilai langkah ini sebagai solusi atas penumpukan perkara dan keterbatasan sumber daya manusia.
Namun, banyak ahli hukum memperingatkan potensi bias algoritmik dan ancaman terhadap prinsip keadilan yang bersifat moral, bukan sekadar logika data.
Tagar #AIJustice2025 ramai di media sosial, dengan debat panas antara pengacara, teknolog, dan masyarakat soal batas campur tangan mesin dalam hukum.
Dampak & Perkembangan Selanjutnya
- Hukum global: efisiensi meningkat drastis, tapi etika keadilan jadi isu utama.
- Pendidikan hukum: muncul disiplin baru “AI Law Studies” di universitas top dunia.
- Keamanan data: enkripsi sidang digital jadi prioritas utama untuk mencegah manipulasi bukti.
PBB bahkan sedang menyusun AI Judicial Charter — panduan etika global bagi negara yang menggunakan teknologi dalam sistem hukum.
Kesimpulan
AI di pengadilan 2025 memperlihatkan masa depan hukum yang efisien dan transparan, namun juga rapuh jika tidak dikendalikan dengan bijak. Mesin bisa menilai bukti, tapi keadilan sejati membutuhkan nurani. Dunia kini berada di ambang revolusi hukum: ketika keadilan bertemu algoritma, siapa yang akan memegang palu terakhir?
